Surat Untuk Cinta Pertama

Teruntuk cinta pertamaku.

Hai, kamu. Bagaimana kabarmu? Ah, aku basa-basi sekali. Jelas-jelas aku tahu bagaimana keadaanmu sekarang.

Sebelumnya, aku ingin meminta maaf. Aku telah berbohong. Sejujurnya, kamu bukan orang pertama yang kutaksir. Sebelum kamu, ada beberapa orang yang kurang beruntung aku curi-curi pandangnya tiap waktu, namun itu semua hanya sebatas kagum saja. Aku tidak ingat alasan lain. Eh, tapi cinta memang tidak butuh alasan, ya? Lain hal denganmu, masih terekam jelas dalam benakku ketika benih suka itu pertama kali tumbuh, sehingga aku berani melabelimu sebagai cinta pertamaku. Harap diterima, ya. Oh, sebenarnya aku tidak ingin kau membaca ini..

Jadi, yah.. aku di sini. Mengenangmu kembali.


Kita pertama bertemu pada pertengahan tahun 2009. Aku tidak begitu jelas mengingat pertemuan pertama kita. Yang jelas, rasa suka ini bukan datang di saat pandangan pertama.

Semakin lama kita berkawan, aku semakin sering memperhatikanmu. Fisikmu biasa saja. Padahal sebelum ini, barometerku menaksir seseorang adalah dari tampilan luarnya. Namun kali ini aku sadar bahwa penilaian sebatas fisik saja sangat amat tidak sepadan dengan kepribadian orang tersebut. Aku suka dengan sikapmu. Sifatmu yang selalu ceria dan humoris selalu mewarnai hariku. Belum lagi dengan perhatianmu terhadap hal-hal sepele. Aku tidak tahu kau melakukan itu karena disengaja atau memang kau terbiasa melakukannya pada semua orang. Yang jelas, semua itu cukup membuatku berkhayal.

Kita sering berkirim pesan. Ah, kurasa aku terlalu melebih-lebihkan. Aku yang mengirim pesan, lalu kamu menjawab seadanya. Jengkel? Tentu saja. Masa-masa awal remaja membuatku bertindak kekanak-kanakan. Aku terus-menerus mengirim pesan tidak penting –apa saja– demi mendapat balasan darimu. Bahkan aku menutup mata apakah semua itu mengganggumu atau tidak. Tidak puas karena sering tidak dibalas, aku menjadi sering stalking akun media sosialmu, demi mencari tahu apa saja tentang hidupmu.

Masih adakah celah di hatimu
Yang masih bisa aku tuk singgahi

Nyatanya, tidak ada. Aku tahu kamu tidak pernah memiliki perasaan yang sama seperti yang kurasa. Aku akhirnya tahu. Semua yang kau lakukan –sikap baik, easygoing, dan perhatianmu– memang kaulakukan pada semua orang. Aku terjebak friendzone. Aku merasa diberi harapan palsu, padahal jelas-jelas itu semua karena aku yang salah menangkap sikapmu.

Kalau kau sedang membaca surat ini, segera lupakan saja, ya. Kini semua sudah berbeda. Terkadang aku geli sendiri mengingat masa lalu. Malu, mengingat aku yang dulu terlalu agresif di hadapanmu.

Hingga saat ini, kita masih berkawan. Serius, berkawan. Aku berani berkata, tidak ada lagi perasaan ingin memiliki seperti yang dulu kurasakan padamu. Semua sudah hilang, sudah berbeda. Perasaanku padamu saat ini sama seperti yang kurasakan pada teman-temanku yang lain.

Jika suatu saat nanti keadaan berbalik: kau yang menyukaiku, sedangkan perasaanku biasa saja.. ah, rasanya tidak mungkin. Aku tahu itu tidak mungkin. Aku sudah tidak berharap padamu. Kita dewasa bersama, kita semakin saling mengenal, jadi aku tahu bahwa kita tak akan jadi satu. Kita berbeda. Aku buku, sedangkan kau adalah air. Aku adalah logam yang keras, sedangkan kau udara yang lembab. Kita tidak akan saling melengkapi. Nonkomplementer. Aku yakin suatu saat nanti kita akan menemukan pelengkap yang benar. Jangan kau anggap aku sok tahu dengan mendahului kuasa Tuhan, tetapi aku merasa yakin dengan hubungan ini yang tidak akan berubah dari status pertemanan. Aku tahu aku tidak akan berharap lagi kepadamu.

Aku tidak menyesal pernah memiliki perasaan itu. Kita tidak bermusuhan, kita berkawan, dan aku bahagia dengan jalan ini.


Dariku, yang pernah menyukaimu.

Komentar

Postingan Populer